Ticker

6/recent/ticker-posts

Kisah Perempuan Melawan Mitos Menjadi Sushi Chef

Tangan perempuan cenderung hangat dan periode menstruasi mereka memengaruhi kepekeaan rasa. Lagi pula, para perempuan tak bisa bekerja dalam waktu lama. Begitulah klaim populer di Jepang tentang sushi chef perempuan.

Mematahkan mitos tersebut, seperti dikutip dari laman South China Morning Post, tak sedikit perempuan mulai ikut pelatihan untuk jadi sushi chef di sekian banyak restoran dan institusi bergengsi di Negeri Sakura. Mizuho Iwai adalah salah satunya. Iwai merupakan trainee di sebuah restoran papan atas di kawasan Ginza, Tokyo. Berkecimpung di industri dengan belum banyak pemain perempuan, ia sadar sangat mungkin jadi anomali.

Ada (sushi chef perempuan), tapi masih sangat jarang. Tapi, justru saya tertantang karena fakta itu, kata perempuan 33 tahun tersebut. Nyatanya, Iwai tak sendiri. Di antara 10 trainee, ada perempuan lain yang juga memiliki tujuan serupa dengannya. Sayang, pelatihan ini sementara tutup pada April mengikuti kebijakan restoran akibat pandemi corona COVID-19. Iwai menambahkan, total ada 10 chef di restoran tersebut dan semuanya lelaki.

Iwai sadar benar bahwa bukan perkara mudah jadi sushi chef, prosesnya bisa sangat kejam dan butuh bertahun-tahun sebelum benar-benar handal. Peserta pelatihan seperti dirinya harus belajar membedakan berbagai jenis ikan dan bagaimana memotong masing-masingnya dengan teknik yang benar.

Rekan kerja saya sudah menerima saya. Tak ada perlakuan berbeda hanya karena saya perempuan. Mereka benar-benar mengajari saya sebagai seorang yang hendak jadi sushi chef, tuturnya.

Posisi Perempuan di Dunia Kuliner Jepang

Washoku, sebutan bidang kuliner Jepang, sudah terlalu lama didominasi lelaki, menurut Fumimasa Murakami, seorang guru di Tokyo Sushi Academy. Kendati, lelaki 54 tahun itu mengatakan, tak ada data resmi tentang proporsi detail jumlah chef perempuan dan lelaki di Jepang.

Perlawanan terhadap juru masak perempuan tetap kuat di sektor kuliner di Jepang, termasuk Sushi, katanya. Murakami menambahkan, konsumen, terutama golongan tua, cenderung tak menginginkan ada makanan karya juru masak perempuan di meja saji.

Di Jepang, kebanyakan orang tetap percaya bahwa perempuan harusnya mengurus keluarga. Bahwa bekerja sebagai sushi chef saat malam sangat sulit bagi kami, ucap Yuki Noguchi, perempuan yang baru menyelesaikan masa latihan selama delapan bulan untuk jadi sushi chef pada Desember tahun lalu.

Head Chef di tempat Iwai menjalani pelatihan, Akifumi Sakagami mengatakan bahwa reputasi pelatihan membuat sushi nyatanya tak hanya menjauhkan perempuan, tapi anak muda, baik lelaki maupun perempuan. Terlebih perempuan, mereka harus punya keberanian lebih untuk terjun ke dunia ini, katanya. Sakagami sendiri memulai pelatihan sebagai sushi chef 30 tahun lalu di bagian utara kota Sapporo, di mana chef maupun trainee perempuan tak ada sama sekali.

Saat pertama saya terjun ke industri ini, kondisi pekerjaannya sulit. Jam kerja yang panjang dengan upah minim. Itu sulit juga secara fisik, katanya. Kendati, seiring waktu, sushi sudah lebih menyatu dengan lingkungan sosial. Ia menilai, industri sekarang lebih kondusif, entah bagi perempuan maupun lelaki. Sudah bukan waktunya melihat berdasarkan jenis kelamin, tapi lebih pada seberapa berusaha dan berbakatnya seseorang, imbuhnya.

Fuka Sano, trainee perempuan di restoran yang sama dengan Iwai mengatakan, saat memutuskan terjun ke dunia ini, ia tak sebegitu memerhatikan apakah perempuan jarang atau tidak di sini. Saya tertarik belajar tentang sushi setelah pulang dari London. Maaf bila saya mengatakan ini, tapi sushi di sana tak terasa lezat, ucapnya.

Dari itu, Sano berharap ia bisa memperbaiki standar makanan Jepang di luar negeri. Juga, ia ingin makanannya dinilai berdasarkan komponen sesuai, bukan karena gender. Saya harap anggapan ini cepat hilang sehingga perempuan punya lebih banyak opsi. Apalagi, pekerjaan ini benar-benar menyenangkan, tutup Sano.

Posting Komentar

0 Komentar